Namaku Mei. Tapi aku biasa dipanggil Putri Salju. Bagaimana aku bisa mendapatkan julukan itu? Aku berperawakan tinggi, langsing dan yang terpenting kulitku putih banget. Selain itu aku juga punya seorang ibu tiri. Walau orang lain tidak sependapat, menurutku ibu tiriku sama kejamnya dengan ibu tiri Putri Salju. Kami seperti dua kutub negatif magnet yang jika berdekatan selalu tolak menolak. Satu lagi yang menakjubkan, aku punya 7 orang teman yang bertubuh cebol dan dijuluki 7 kurcaci. Seno, Sinar, Dono, Dino, Heri, Baskoro dan Ganjar. Jika kami berdelapan jalan bersama, semua anak kecil berteriak-teriak kegirangan. “Putri Salju! Putri Salju dan Kurcaci!” Terkadang aku berpikir, jangan-jangan benar aku adalah jelmaan Putri Salju.
…
Sayang, ada satu yang dimiliki Putri Salju tapi belum kumiliki. Apa itu? Pangeran tampan berkuda putih. Aku sering sekali membayangkan wujud pangeranku. Apa ia juga akan mencium untuk menyadarkanku? Apakah ia setampan pangeran-pangeran di negeri dongeng? Terus apa ia menunggang kuda putih? Hmm mungkin lebih keren kalau ia naik vespa. Ah, aku nggak sabar menunggu pangeran impian menyelamatkanku dari genggaman ibu tiri yang kejam.
…
Hari ini adalah hari terburuk! Aku bertengkar hebat dengan ibu tiriku. Yang lebih sial lagi, ayah sedang pergi ke luar kota. Aku tidak mau tinggal di rumah berdua bersama ibu tiriku. Bisa-bisa perang dunia ketiga benar-benar pecah. Jadi sekarang di sinilah aku berada, di tempat kos 7 kurcaci. Tempat kos ini milik orang tua Seno. Jadi aku bisa gratis numpang tidur di salah satu kamar. Pokoknya aku nggak bakal pulang ke rumah sampai ayah pulang dari luar kota!
…
Umumnya orang yang minggat dari rumah bakal merasa sedih. Tapi aku malah merasa sangat bersemangat. Lagi-lagi apa yang aku alami sama dengan Putri Salju. Pergi dari rumah dan tinggal di rumah kurcaci. Hmm… seharusnya sebentar lagi aku akan bertemu pangeran impian. Tapi apa aku harus meninggal dulu seperti Putri Salju? Hiii… aku masih mau hidup!
…
Haduh, naga di perutku sudah menggelar demonstrasi minta diberi makan. Dari kemarin malam aku memang belum makan. Mana sih Seno dan enam kurcaci lainnya? Mereka janji membawakanku makan siang. Sabar ya naga… Haduh, sekarang kepalaku ikutan demonstrasi juga. Sekelilingku seperti berputar. Eh, ada yang mengetuk pintu. Semua anak kos kan membawa kunci. Siapa sih yang datang di siang bolong begini?
…
Aku mengerjap-ngerjapkan mata tak percaya. Di hadapanku berdiri seorang ibu tua yang membawa barang dagangannya, sebakul apel. Ibu tua itu memaksaku membeli apel. Buat beli buku sekolah cucu katanya. Aku terus mengamati wajahnya. Apa ia jelmaan ibu tiriku? Apa dia penyihir? Walau sudah bilang tidak punya uang, ibu tua itu terus memaksa. Akhirnya dengan sisa-sisa uang terakhir aku membeli satu buah apel yang sangat merah. Kalau dipikir-pikir Putri Salju kan diberi apel gratis, kok aku harus bayar sih. Hhhh beginilah nasib jadi Putri Salju gadungan.
…
Aku hanya diam memandangi apel merah yang menggiurkan itu. Apel ini beracun nggak ya? Bagaimana kalau aku benar-benar meninggal seperti Putri Salju? Oya, kan ada pangeran yang akan menolongku. Tapi bagaimana kalau ia nggak datang? Argghh kenapa jadi bingung begini. Duh… duh… duh… Demonstrasi di perutku sudah mulai rusuh. Perutku nyeri. Aku lapar sekali! Ah sudahlah, aku makan saja apel ini. Duh, kepalaku benar-benar pusing. Cepat…cepat… makan saja apel ini. Aduh, kenapa semuanya jadi gelap…
…
Sesuatu menyentuh bagian di antara bibir dan hidungku. Bau mint menyerbak. Aku sadar mataku masih terpejam. Ingin kumembuka mata, tapi takmampu. Aku mulai ingat apa yang terjadi. Aku tak sadarkan diri setelah memakan apel ibu tua itu. Ah, akhirnya aku benar-benar mengalami apa yang dialami Putri Salju. Oya, jangan-jangan yang menyentuhku adalah pangeran. Ini adalah ciuman pangeran yang kutunggu-tunggu. Tapi kok nggak di bibir sih? Bau mint-nya makin kuat. Apa pangeran habis makan permen mint? Biarlah, yang penting aku harus buka mata sekarang. Aku harus menyambut pangeran yang sudah kutunggu-tunggu.
…
Perlahan-lahan aku melihat cahaya. Aku menunggu sesosok tampan hadir di hadapanku. Tiga…dua…satu. Yang kulihat adalah wajah Seno. Ia sedang mengusapkan minyak angin ke bawah hidungku. Aku berteriak kaget sekencang-kencangnya. “Loh, kok bukan pangeran impianku!” Ya ampun, mana ya pangeranku?
…
Ternyata tadi aku pingsan karena lapar, bukan keracunan apel. Apel itu belum kugigit sedikit pun. Aku makan dengan lahap seperti orang yang belum makan selama sebulan. Karena terlalu asyik makan, aku tidak memperhatikan sekeliling. Barulah setelah naga di perutku tenang, aku sadar ada yang aneh pada diri Seno. Dari tadi ia hanya duduk diam memandang hujan yang mengguyur tanah dari jendela. Kupanggil namun jawabannya tak bersemangat. Ada apa sih?
…
Bodohnya aku! Dari Sinar, Dono, Dino, Heri, Baskoro dan Ganjar, aku baru tahu selama ini Seno menyukaiku. Ia memendam rasa itu dalam-dalam. Dan sekarang hatinya benar-benar patah mendengar teriakanku tadi. “Loh, kok bukan pangeran impianku!” Satu kalimat itu pasti sangat menghancurkan hatinya. Secara tidak langsung aku telah menolak cinta yang bahkan belum diungkapkan. Apa yang harus kukatakan padanya?
…
Aku memandangi Seno yang masih mematung di depan jendela. Aku mengingat semua perhatiannya padaku. Ia selalu ada di saat senang maupun susah. Seno akan selalu membelaku, walaupun seandainya seluruh dunia menganggapku bersalah. Perlahan rasa hangat menyergap hatiku. Kedua pipiku mulai memerah. Aku memang bodoh. Aku terperangkap bayangan dongeng tentang pangeran tampan berkuda putih. Selama ini aku tak sadar bahwa pangeran sudah ada di depan mataku. Ya pangeran kurcaci Seno.
…
Perlahan aku mendekati Seno. Kusentuh pundaknya, dan ia pun berbalik. Dengan muka seperti kepiting rebus, kucium kening Seno. “Terima kasih sudah nyadarin aku Pangeran Kurcaci Seno. Moga-moga kita bisa hidup bahagia selama-lamanya seperti di dongeng ya.” Seno terkejut dan tampak bingung sekali. Ia menatapku lekat. Mukaku rasanya panas karena malu. Aku hanya bisa menangguk-angguk untuk meyakinkannya. Tiba-tiba Seno melompat dan berteriak-teriak kegirangan. Ia berlari keluar dan menari-nari gembira di bawah guyuran hujan.
…
Keenam kurcaci lain yang menyaksikan kejadian itu pun ikut bersorak. Mereka berenam menarikku keluar. Di bawah guyuran hujan mereka terus bersorak-sorai. Haduh, badanku jadi basah kuyup. Apa-apan sih mereka ini. Tiba-tiba Seno berlutut di depanku. Ia mengulurkan tangannya, dan mengajakku menari. Aku dan Seno menari bersama di tengah keenam kurcaci yang bernyanyi dan ikut bergoyang. Tubuhku basah kuyup oleh guyuran hujan, tapi hatiku sehangat api unggun. Itulah saat terindah dalam hidupku.
…
Mei, Sang Putri Salju hidup bahagia selama-lamanya bersama Seno, sang Kurcaci. Begitulah akhir kisah Putri Salju dan 7 Kurcaci versiku.
namanya kok alay bgt sih…ga pantes buat nama kurcaci..cocokny buat nama pak haji…Pak Haji Seno…ato nama guru sd..Pak Baskoro…
Biar lebih indonesia gitu hehehe
Hahaha iya, Ngel, namanya kayak nama kakak ipar gue yang sama sekali gak bermuka kurcaci hehehe.. Yang ini lebih hidup daripada yang Prajurit rasanya. Lebih berwarna dan dinamis. Padahal sebetulnya dari segi ide cerita gue lebih suka si Prajurit. Cuman ini penggambarannya lebih menarik.
Lebih hidup tapi masih kurang hidup jg sih ya hohoho…